RSS

Arsip Tag: memberi salam

KISAH MARIA MENGUNJUNGI ELISABET: MODEL PEWARTAAN BERBASIS ROH KUDUS

(Fransiskus Andri Suryadi)

Landasan Biblis: Awal Pewartaan Maria (Maria dan Elisabet, Lukas 1:39-45)

“Beberapa waktu kemudian berangkatlah Maria dan langsung berjalan ke pegunungan menuju sebuah kota di Yehuda. Di situ ia masuk ke rumah Zakharia dan memberi salam kepada Elisabet. Dan ketika Elisabet mendengar salam Maria, melonjaklah anak yang di dalam rahimnya dan Elisabet pun penuh dengan Roh Kudus, lalu berseru dengan suara nyaring: “Diberkatilah engkau di antara semua perempuan dan diberkatilah buah rahimmu. Siapakah aku ini sampai ibu Tuhanku datang mengunjungi aku? Sebab sesungguhnya ketika salammu sampai ketelingaku, anak yang ada di dalam rahimku melonjak kegirangan. Dan berbahagialah ia, yang telah percaya, sebab apa yang dikatakan kepadanya dari Tuhan, akan terlaksana.”

 

Pengantar: Arah Dasar Pewartaan Berbasis Roh Kudus

Yesus Kristus hadir di antara umat manusia untuk mewartakan keselamatan, cinta kasih Allah yang tiada bandingnya. “Dalam pewartaan-Nya Ia memerintahkan dengan jelas kepada putera-puteri Allah, supaya mereka bertingkah-laku sebagai saudara satu terhadap lainnya. Dalam doa-Nya Ia meminta, supaya semua murid-Nya menjadi satu” (Gaudium et Spes, art. 32). Begitu juga dengan janji Yesus Kristus yang mengirimkan Roh Penghibur bagi mereka tidak lepas dari visi dan misi pewartaan-Nya. Tampaklah bahwa pewartaan menjadi cita-cita ilahi yang sungguh mulia. Oleh sebab itu, Gereja (Tubuh Mistik Kristus) diundang dan diperkenankan turut serta dalam pewartaan karya keselamatan Allah bagi manusia. Tentunya, pewartaan kabar gembira (keselamatan manusia dengan perantaraan Yesus Kristus, Anak Domba Allah) tidaklah mudah untuk terlaksanakan. Gereja dalam peziarahannya di dunia telah berusaha keras, dengan berbagai cara, untuk mewartakan kabar gembira hingga Yesus Kristus dikenali dan diimani oleh banyak umat manusia (taraf kuantitas: jumlah). Namun demikian, apakah pewartaan yang sudah terlaksana sedemikian rupa telah menitikberatkan visi dan misinya pada pencapaian kedewasaan rohani (taraf kualitas: mutu)? Tak jarang, pewartaan berhenti pada pencapaian kuantitas, kurang memperhatikan kualitas rohani. Pewartaan bukanlah usaha yang sekedar mengumpulkan sebanyak mungkin pengikut, tetapi juga memelihara kontinuitas pertumbuhan iman yang membangun hidup rohani yang kukuh kuat. Arah pewartaan “ke dalam” (tubuh Gereja) tetap mejadi fokus peningkatan kualitas, tanpa mengesampingkan pewartaan “ke luar” (bakal anggota baru Gereja). Seperti apa yang tersuratkan dalam Evangelii Nuntiandi (Nasehat Apostolik yang diterbitkan pada tanggal 8 Desember 1975 oleh Paus Paulus VI): “Mewartakan Injil…adalah rahmat dan panggilan yang tepat bagi Gereja. Gereja adalah pewarta Injil namun harus dimulai dengan mewartakan Injil dalam tubuh Gereja sendiri” (art.14, 15).

Penilaian kualitas pewartaan (apakah bermutu atau tidak bermutu, apakah bersifat temporer atau kontinu) bergantung pada “dinamika pewartaan” itu sendiri. Artinya, di dalam pewartaan terdapat dinamika (proses komunikasi) antara “pewarta”, “apa yang diwartakan”, dan “penerima pewartaan”. Ketiga (3) faktor pembentuk dinamika pewartaan perlulah untuk dikaji ulang, dipahami, dibenahi, dan dipelihara, guna membentuk pewartaan yang berkualitas. Lantas, yang terutama, ketiga (3) faktor tersebut perlulah didasarkan pada karya Roh Kudus. Jelasnya, pewartaan itu hendaklah mengandung rahmat ilahi yang tidak hanya sebatas  memikat, tetapi juga mengikat, dan terutama berbuah keselamatan.

Harmonisasi Dinamika Pewartaan Berbasis Roh Kudus

Kisah Maria mengunjungi Elisabet dapat menjadi model pewartaan berbasis Roh Kudus. Dari pihak Maria, pewartaan tampak sebagai yang tidak hanya mengandalkan “nyali” (keberanian), tetapi juga “mengundang” dan “mengandung” Roh Kudus. Sedangkan dari pihak Elisabet, pewartaan tampak sebagai yang tidak hanya mengandalkan “keterpesonaan”, tetapi juga “disposisi batin” (sikap batin). Maria menjadi pewarta yang dikaruniai Roh Kudus. Ia mewartakan “buah rahimnya” (Yesus Kristus—Kabar Gembira). Dalam ikatan Cinta Kasih Allah (Roh Kudus), Maria mewartakan Kabar Gembira dengan kesungguhan iman sebagai pribadi yang penuh rahmat. Di sisi lain, Elisabet sebagai penerima pewartaan juga mengikatkan diri dengan Roh Kudus. Keterbukaan hatinya dan kesederhanaan pribadinya (sikap batin) membantunya untuk dapat diresapi Kabar Gembira. Lantas, anak (Yohanes Pembaptis) yang ada dalam rahimnya pun melonjak kegirangan.

Dalam kisah tersebut tampaklah bahwa ketiga (3) faktor pembentuk dinamika pewartaan berharmonisasi dalam ikatan Roh Kudus. Maria sebagai pewarta dengan kesungguhan iman penyajian pewartaannya, Kabar Gembira (Yesus Kristus) yang diwartakan, dan sikap batin Elisabet sebagai penerima pewartaan. Semuanya berharmonisasi di dalam ikatan Cinta Kasih Allah (Roh Kudus). Keharmonisan (keselarasan—keserasian) dalam pewartaan menjadi akar buah-buah rohani yang bermutu (berdaya-guna) dan kontinu.

 

Maria sebagai Pewarta: Pengendapan dalam “Rahim Rohani” (Reflektifitas)

Maria sebagai pewarta memberi teladan kepada kita untuk memiliki dan memelihara reflektifitas diri (“pengendapan Sang Sabda dalam rahim rohani”). Dalam dinamika pewartaan (khususnya homili, katekese, sharing rohani, pelajaran agama, tulisan dan bacaan rohani), para pewarta hendaklah membuka hati dan budi untuk senantiasa merenungkan Sang Sabda dan apa yang hendak diwartakan.

Saat setelah Maria menerima Kabar Gembira, Ia pun mengendapkannya dalam hati. Ia tidak lantas berkoar-koar langsung menyampaikannya pada banyak orang. “Rahim Maria yang mengandung Yesus” dapat menjadi simbol “rahim rohani” manusia. Layaknya bayi yang dikandung dalam rahim ibu, butuh perhatian dan kedekatan batin, Sang Sabda pun demikian halnya. Sang Sabda butuh penyerahan diri seutuhnya di dalam hati nurani dan akal budi. Hati dan budi dalam rahim rohani perlu untuk masuk dalam keheningan, layaknya rahim ibu yang hening dan tenang, serta diresapi oleh Roh Kudus. Saat itulah, kehendak Allah pun tersingkapkan dan terpahami. Lantas, apa yang hendak diwartakan pun menjadi murni dan kuat kuasa. Karena bukan perkataan diri (ego) yang hendak diwartakan, melainkan Sang Sabda sendiri yang telah menjelma (bertransfigurasi) dalam reflektifitas diri. Reflektifitas diri bukan hanya sekedar paham akan Sang Sabda (aspek teoretis-analitis lebih ditekankan), tetapi juga pengolahan pengalaman personal akan Sang Sabda (aspek penyingkapan pengalaman rohani dalam hidup sehari-hari lebih ditekankan). Pengolahan pengalaman personal dikuatkan dan diungkapkan dalam doa yang dapat membangun intimasi diri dengan Yang Ilahi. Itulah teladan sikap Maria dalam menanggapi dan meresapkan Kabar Gembira.

Jelaslah bahwa proses pengendapan Sang Sabda itu begitu penting. Namun demikian, proses ini terkadang dilalaikan. Penyebab utamanya tiada lain adalah budaya instan. Budaya instan tidak hanya merasuk dalam dunia materi, tetapi juga masuk dalam dunia rohani. Tak jarang, para pewarta terkadang hanya mewartakan “tentang sesuatu dari pemahamannya” dari pada mewartakan “tentang sesuatu yang tersingkap dari pengalaman personalnya”. Mereka merasa bahwa asal tahu, asal paham, asal bisa menganalisis sesuatu yang akan diwartakan itu cukup, padahal ternyata tidak cukup. Perlu adanya proses pengendapan, tepatnya benar-benar merasakan “pengalaman rohani”, pentingnya relasi personal dengan Yang Ilahi. Itulah yang menjadi indikator untuk mengenal mana “pewarta yang pintar” dan mana “pewarta yang sungguh berkuasa”. Tentunya, Maria adalah pewarta yang sungguh berkuasa.

 

Kabar Gembira (Yesus Kristus: Allah yang Menjadi Manusia) yang Diwartakan

“Kunjungan Maria” pada Elisabet menunjukkan nilai penting lainnya dari dinamika pewartaan. Pengendapan Sang Sabda dalam rahim rohaninya telah matang dan kini saatnya ia ber-“aksi”. Aksi dalam pewartaan hukumnya adalah wajib. Artinya, sedalam mungkin reflektifitas diri namun tanpa aksi, hampalah semuanya.

Dalam lingkup pewartaan gerejani, berbagai macam aksi pewartaan telah kita kenal diantaranya; seorang romo (pastur) menyampaikan homili kepada umat di ambo dalam Liturgi Sabda, seorang suster (biarawati) meneguhkan para pasien di rumah sakit dalam kunjungan pastoral (pastoral care), seorang umat (pembicara) menyampaikan renungan pada para rekannya dalam komunitas doa, seorang guru agama (pengajar) menyampaikan materi pelajaran agama pada para muridnya, seorang anak (pelajar) membaca dan mendongengkan kisah-kisah dalam Kitab Suci kepada teman-temannya, dll.. Namun demikian, meskipun telah ada berbagai macam bentuk aksi pewartaan, apakah  aksi pewartaan tersebut sungguh dapat merasuki ruang batin para penerima pewartaan dan berbuahkan keselamatan? Jawabannya tergantung pada siapa yang diwartakan, apakah Yesus yang konseptual (teoretis-analitis), ataukah Yesus yang hidup (berdampingan dengan manusia dalam hidup keseharian).

Maria mewartakan Yesus yang hidup. Oleh sebab itu, ketika Maria mewartakan Kabar Gembira, “bayi: Yohanes Pembaptis” dalam kandungan Elisabet pun “melonjak kegirangan”.  Kisah ini menunjukkan bahwa saat Maria memberi salam pada Elisabet, kedua (2) bayi yang hidup dalam rahim mereka turut berinteraksi. “Yang hidup akan disambut dengan yang hidup”. Oleh sebab itu, para pewarta yang mewartakan “Yesus yang hidup” akan disambut oleh “para bayi yang hidup” dalam rahim rohani setiap manusia. Pewartaan Yesus yang hidup itu berarti pewartaan yang imanen, yang merangkul unsur-unsur duniawi-manusia, segala tek-tek bengek persoalan hidup, suka dan duka, kaya dan papa, untung dan rugi. Bukan sekedar soal Yesus yang hidup di masa lalu, tetapi juga Yesus yang hidup di sini dan kini, hadir di tengah-tengah umat. Maka aksi pewartaan hendaklah mengangkat tema “kehidupan yang sungguh-sungguh hidup”. Bukan sekedar berbicara “tentang kehidupan”, tetapi juga bergaul “dengan kehidupan”. Yesus datang, hidup, hadir mengunjungi umat manusia untuk berbicara dan bergaul dengan kehidupan manusia. Ia tidak hanya mencermati kehidupan orang-orang yang berban berat, tetapi juga merasakan salib orang-orang yang berbeban berat.  Itulah makna dari kunjungan Maria dalam pewartaan Kabar Gembira.

Sikap Batin Elisabet sebagai Penerima Pewartaan

Dalam dinamika pewartaan zaman ini, penerima pewartaan pun tak lepas dari inkonsistensi (pendirian yang berubah-ubah). Lagi-lagi, hal itu disebabkan oleh budaya instan. Instan untuk mempersiapkan diri, instan untuk terlalu cepat menilai pewarta, instan untuk sekedar tahu dan terpesona. Padahal semua itu mudah untuk menjerumuskan diri pada buah penyesatan.

Para penerima pewartaan hendaknya meneladani Elisabet yang menerima Kabar Gembira dari Maria. Sikap batin yang teguh itulah yang terutama. Saat hendak mendengarkan pewartaan, para penerima pewartaan selarasnya membuka hati dan budi kepada Cinta Kasih Allah (Roh Kudus). Apapun yang akan didengar, diterima, dirasakan, serahkanlah pada Kuasa Roh Kudus yang dapat memurnikan warta yang akan diterima. Hati dan budi akan dijagai oleh Roh Kebenaran. Layaknya Elisabet yang mendengar Kabar Gembira dari Maria, ia pun dapat merasakan kepenuhan kehadiran Roh Kudus hingga ia pun bersuara nyaring memuliakan Tuhan. “Yang Benar dirasai oleh yang benar”. Karena memang yang diwartakan Maria adalah sungguh Kabar Gembira (Yesus Kristus), maka Roh Kudus pun merasuk-meresap dalam diri Elisabet. Jika yang diwartakan Maria memang bukan Kabar Gembira, maka Roh Kudus pun tidak akan berperan ataupun tidak mengikat. Roh Kudus-lah yang mempertemukan sikap batin antara pewarta dan yang menerima pewartaan serta mengikatkan kuasa kebenaran dalam setiap pribadi masing-masing. Maka, sikap batin para penerima pewartaan menjadi indikator utama untuk menilai mana “penerima pewartaan yang sebatas terkesan, memuji, tetapi temporal, lantas lupa” dan mana “penerima pewartaan yang sungguh melonjak kegirangan hatinya, dan kontinu dalam merefleksikannya”

Usulan Analogi Pewartaan: Simbiosis Mutualisme Pewartaan

Pewartaan yang harmonis adalah model komunikasi ala “simbiosis mutualisme”. Simbiosis adalah pola interaksi yang sangat erat dan khusus antara dua makhluk hidup yang berlainan jenis. Makhluk hidup yang melakukan simbiosis disebut simbion. Mutualisme adalah hubungan sesama mahkluk hidup yang saling menguntungkan kedua pihak. Jika kita terapkan konsep dasar simbiosis ke dalam pewartaan, maka dua (2) simbion itu adalah “pewarta” dan “penerima pewartaan”. Dan karena simbiosis itu memiliki karakter mutualisme, pribadi “pewarta” tidak selamanya “pewarta”, begitu juga dengan “penerima pewartaan”. Pada titik reflektifitas tertentu (pengalaman pribadi), “pewarta” menempati posisi “penerima pewartaan”, sebaliknya “penerima pewartaan” menempati posisi “pewarta”. Dengan demikian tampaklah dinamika (interaksi) pewartaan itu menjadi harmonis, bermutu, saling meneguhkan, dan kontinu.

Maria dalam uraian di atas ditempatkan pada posisi pewarta, sedangkan Elisabet ditempatkan pada posisi penerima pewartaan. Namun demikian, Maria selalu dan senantiasa (dengan kerendahan hatinya) mendengarkan pewartaan Yesus, anaknya yang dikandung dalam Roh Kudus. Di pihak lain, Elisabet pun akhirnya berani “bersuara nyaring” mewartakan pujian dan kemuliaan Tuhan. Tidak hanya itu, interaksi mutualisme pewartaan mereka yang diikat dan dipenuhi Roh Kudus berbuah keselamatan yang sungguh luar biasa. Jelas, kedua (2) bayi yang dikandung mereka masing masing telah menjadi orang-orang besar dalam pembangunan hidup spiritual umat manusia. Yohanes Pembaptis sebagai nabi yang terbesar di antara para nabi yang lainnya, dan Yesus sendiri menjadi penyelamat dunia. Jadi, simbiosis mutualisme pewartaan berbasis Roh Kudus memampukan pewarta dan penerima pewartaan merangkai dampak pewartaan yang sungguh luar biasa, solid, alot, bermutu, kuntinu, dan berbuahkan keselamatan. Selamat mewartakan dan diwartai Kabar Gembira, Tuhan memberkati.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada Maret 3, 2012 inci Uncategorized

 

Tag: , , , , ,